weLcomE tO my bLog

Mei 14, 2010

makalah "terorisme"

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua diantaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon.
Kejadian ini merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bom Bali I, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang padatanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.




2. Maksud dan Tujuan.

a. Maksud
Maksud penulisan makalah ini adalah disamping untuk melaksanakan penugasan pembuatan makalah yang materinya menyangkut masalah terorisme dari Dosen, makalah ini pula bertujuan sebagai sarana untuk belajar dalam menuangkan pemikiran saya tentang Mata Kuliah Ilmu Politik yang diterima dengan ditunjang dengan beberapa referensi – referensi yang relevan dengan permasalahan ini.
b. Tujuan
Dengan penulisan makalah ini, kami mengharapkan agar makalah ini dapat dijadikan sebagai referensi dan tambahan wawasan / pengetahuan bagi pembaca mengenai hal-hal yang berkenaan upaya meminimalisir aksi terorisme dengan melalui pendekatan hukum dan sosial yang membawa pengaruh terhadap kondisi keamanan dalam dan luar negeri.
3. Permasalahan
Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Undang-Undang Antiterorisme kini diberlakukan dibanyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary detention)pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan terbaru dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat. Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia. Demikian menurut Munir, bahwa memang secara nasional harus ada Undang-Undang yang mengatur soal Terorisme, tapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru melawan Hak Asasi Manusia. Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi Manusia, bukan sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan.
Melihat kenyataan dan akibat yang ditimbulkan diatas dapat diambil beberapa pokok permasalahan yang akan penulis coba bahas antara lain :
a. Apakah yang dimaksud dengan terorisme atau teroris dan apa latar belakang terjadinya aksi terorisme tersebut?
b. Bagaimana kajian akademis yang berbasis hukum nasional dan internasional terhadap pasal-pasal yang ada pada UU anti teroris Indonesia yaitu Perpu No. 1 tahun 2002 dan revisi UU No. 15 tahun 2003 ?
c. Apakah terdapat kelemahan pendekatan legal formal yang diterapkan melalui UU anti terorisme Indonesia dalam menindak para pelaku terorisme ?
d. Apakah pendekatan sosio-kultural dapat dilakukan sebagai cara alternatif untuk mengurangi aksi terorisme di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

4. Istilah Terorisme.

Terorisme secara kasar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan kekerasan terhadap penduduk sipil/non kombatan untuk mencapai tujuan politik, dalam skala lebih kecil daripada perang . Dari segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad 18. Kata Terorisme yang artinya dalam keadaan teror ( under the terror ), berasal dari bahasa latin ”terrere”yang berarti gemetaran dan ”detererre” yang berarti takut.
Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa teritorial atau kultural melawan ideologi atau agama yang melakukan aksi kekerasan terhadap publi. Istilah terorisme dan teroris sekarang ini memiliki arti politis dan sering digunakan untuk mempolarisasi efek yang mana terorisme tadinya hanya untuk istilah kekerasan yang dilakukan oleh pihak musuh, dari sudut pandang yang diserang. Polarisasi tersebut terbentuk dikarenakan ada relativitas makna terorisme yang mana menurut Wiliam D Purdue ( 1989 ), the use word terorism is one method of delegitimation often use by side that has the military advantage.

Sedangkan teroris merupakan individu yang secara personal terlibat dalam aksi terorisme. Penggunaan istilah teroris meluas dari warga yang tidak puas sampai pada non komformis politik.
Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau negara sebagai alternatif dari pernyataan perang secara terbuka. Negara yang mendukung kekerasan terhadap penduduk sipil menggunakn istilah positif untuk kombatan mereka, misalnya antara lain paramiliter, pejuang kebebasan atau patriot. Kekerasan yang dilakukan oleh kombatan negara, bagaimanapun lebih diterima daripada yang dilakukan oleh ” teroris ” yang mana tidak mematuhi hukum perang dan karenanya tidak dapat dibenarkan melakukan kekerasan. . Negara yang teribat dalam peperangan juga sering melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil dan tidak diberi label sebagai teroris. Meski kemudian muncul istilah State Terorism, namun mayoritas membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan terorisme, hanyalah sebatas bahwa aksi terorisme dilakukan secara acak, tidak mengenal kompromi , korban bisa saja militer atau sipil , pria, wanita, tua, muda bahkan anak-anak, kaya miskin, siapapun dapat diserang.



Kebanyakan dari definisi terorisme yang ada menjelaskan empat macam kriteria, antara lain target, tujuan, motivasi dan legitmasi dari aksi terorisme tersebut. Pada Bulan November 2004 , Panel PBB mendifinisikan terorisme sebagai :
” Any action intended to cause death or serious bodily harm to civilians, non combatans, when the purpose of such act by is nature or context, is to intimidate a population or compel a government or international organization to do or to abstain from doing any act”
( Yang dalam terjemahan bebasnya adalah segala aksi yang dilakukan untuk menyebabkan kematian atau kerusakan tubuh yag serius bagi para penduduk sipil, non kombatan dimana tujuan dari aksi tersebut berdasarkan konteksnya adalah untuk mengintimidasi suatu populasi atau memaksa pemerintah atau organisasi internasional untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu ).

Dapat dikatakan secara sederhana bahwa aksi-aksi terorisme dilatarbelakangi oleh motif – motif tertentu seperti motif perang suci, motif ekonomi, motif balas dendam dan motif-motif berdasarkan aliaran kepercayaan tertentu. Namun patut disadari bahwa terorisme bukan suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama. Ia sekedar strategi , instrumen atau alat untuk mencapai tujuan . Dengan kata lain tidak ada terorisme untuk terorisme, kecuali mungkin karena motif-motif kegilaan ( madness ).



5. Kajian Akademis terhadap UU Anti Terorisme Indonesia .

Terdapat kesan yang kuat bahwa pemerintah lebih mengedepankan pendekatan legal formal dan represif dalam menangani masalah terorisme di tanah air. Indikasi ini diperkuat dengan bersemangatnya pemerintah mengeluarkan undang-undang untuk mengatasi masalah terorisme ini , termasuk usulan untuk mengeluarkan Internal Security Act yang diyakini oleh banyak pihak pasti akan bersifat represif. Pada saat akan disahkan Perpu 1 tahun 2002 menjadi UU No. 15 tahun 2003 banyak kecaman yang menyulut pertentangan dan kritik terhadap seputar hak-hak asasi manusia berkenaan dari berbagai hal antara lain Asas Retroakif, waktu penangkapan yang 7 X 24 jam , laporan intelejen dan sebagainya.





Dalam Revisi UU No. 15 tahun 2003 ada pencantuman beberapa tindak pidana dimana beberapa pasal bukan hanya dirumuskan terlalu luas, tetapi berpotensi melanggar HAM . Hal tersebut terlihat dengan adanya kriminalisasi atau menjadikan perbuatan sebagai tindak pidana pada aktivitas – aktivitas untuk perbuatan sebelum terjadinya tindak pidana terorisme seperti pada Pasal 9 A , yang berbunyi :

a. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, setiap orang dengan sengaja dan melawan hukum memperdagangkan bahan-bahan utama yang berpotensial untuk digunakan sebagai bahan peledak

b. Apabila bahan-bahan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti digunakan dala tindak pidana terorisme , pelaku dipidana paling lama 15 Tahun.


Rancangan UU tersebut tidak menjelaskan jenis bahan-bahan peledak yang dimaksud , padahal produsen pupuk , nelayan kecil-kecilan dan pekerja tambang pun membutuhkan bahan-bahan yag jika dicampur dengan bahan-bahan tertentu dapat menjadi peledak. Bahkan bensin, kain dan botol kosong pun dapat menjadi bahan peledak. Jika ketentuan pasal tersebut disahkan akan terjadi ketidakadilan dan kerancuan dalam penerapannya di lapangan. Untuk itu ada baiknya diperlukan peraturan distribusi bahan-bahan kimia serta badan pengawas yang bertugas mengawasi peredaran bahan kimia yang berpotensi sebagai bahan peledak di pasaran. Dimana hal tersebut tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikitdalam pelaksanaannya dan diragukan terealisasi dengan baik. Selain itu menimbulkan kerancuan siapa dapat digolongkan sebagai pembeli yang legal atau illegal berdasarkan dari itikad pembeliannya.

Pada pasal 26 RUU dinyatakan bahwa laporan intelejen dapat dijadikan sebagai bukti permulaan . Laporan intelejen pada ayat (1a) jika berasal dari instansi lain selain dari Kepolisian RI wajib diautentifikasi oleh Kapolri atau pejabat yang ditunjuk Namun tidak disebutkan siapa pejabat lain yang ditunjuk itu. Selain itu diakui oleh Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan Mayor Jenderal Sudradjat bahwa memang pasal ini ditambahkan untuk memberikan perluasan kewenangan intelejen untuk memburu dan menangkap pihak-pihak yang berencana melakukan aksi terorisme. Laporan intelejen tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti sebagai alat bukti sebagaimana revisi pasal 27 UU Anti Terorisme . Sebelumnya dalam UU No. 15 Tahun 2003, Laporan Intelejen tidak dijadikan sebagai alat bukti ( Primary Evidence ) melainkan sebagai bukti permulaan yang merupakan bukti pendukung ( Supporting Evidence ).

Dalam hukum pidana terdapat perbedaan mendasar antara pengertian intelegence evidence dan crime evidence Crime evidencedapat mencakup intellegence evidence . Tetapi intelegence evidence tidak dapat dianggap sebagai crime evidence karena intelegnce evidence tidak memerlukan sebagai fakta hukum untuk merumuskan perbuatan-perbuatan sebagai indkasi atau dasar adanya tindak pidana. Hal ini dikarenakan intelegence evidence merupakan abstraksi data yang seringkali tidak memerlukan pembuktian. Misalnya korban tewas yang dikarenakan bom mobil atau keterlibatan Noordin M Top dan Dr Azhari dalam peledakan Bom Kuningan adalah intelegence evidence. Sedangkan crime evidence merupakan fakta hukum yang konkret sebagai ciri rule of law, disini berarti Noordin M Top dan Dr Azhari harus didengar kesaksiannya di pengadilan. Dengan menggunakan laporan intelejen sebagai alat bukti jelas mengabaikan azas praduga tak bersalah ( presumption of innocent ) dan tidak dapat diabaikan kemungkinan dilakukannya inkriminasi terhadap para tersangka terorisme.
Pasal 31 RUU juga memasukkan hak-hak penyidik untuk membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui pos serta melakukan penyadapan pembicaraan”.Pasal itu bahkan tidak memberikan batasan terhadap tindakan penyadapan apa saja yang bolehdilakukan oleh penyidik. Penyidik cukup memiliki bukti permulaan yang cukup untuk bisa melakukan itu semua.
Pada Pasal 34 RUU dicantumkan bahwa pemeriksaan dapat dilakukan secara jarak jauh tanpa melakukan tatap muka dengan tersangka dengan menggunakan layar monitor RUU ini mengijinkan penggunaan teleconferenci sebagai alternatif kehadiran saksi di muka sidang pengadilan. Namun RUU tidak menjelaskan apa prasyarat tehnis untuk membuat suatu kesaksian di pengadilan dengan menggunakan teleconferenci seperti sertifikasi sistem komunikasi dan keamanan ruangan saksi yang diperiksa melaui teleconferenci sehigga keterangan saksi terlepas dari intervensi yang dilakukan oleh penyidik di belakang layar teleconference tersebut.
Terorisme memiliki kaitan antara delik politik dan delik kekerasan, sehingga pandangan mengenai terorisme seringkali bersifat subjektif Dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 sebenarnya terdapat pasal-pasal yang sangat riskan melanggar HAM yaitu Pasal 46 tentang Asas Retroaktif. Kemudian pada Bulan Juli 2004 MK menyatakan bahwa UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2002 mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme pada peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 tidak memiliki kekuatan yang mengikat.
Mahkamah Konstitusi ( MK ) mempertimbangkan Asas Retroaktif adalah asas hukum yang bersifat universal yang hanya dapat diberlakukan ada jenis kejahatan tertentu yang berupa Kejahatan Genosida ( crimes of genocide ), kejahatan terhadap kemanusiaan ( crimes againts humaninity ), kejahatan perang ( war crimes ) dan kejahatan agresi ( crimes of agression ), merujuk pada Statuta Roma Tahun 1998 dan UU No. 39 Tahun 2002 tentang Hak Asasi Manusia. Menurut MK, terorisme merupakan kejahatan biasa yang sangat kejam, maka kejahatan terorisme untuk Bom Bali tidak dapat diberlakukan asas retroaktif. Ini artinya, terorisme bukanlah kejahatan terhadap genosida , kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. UU No. 15 Tahun 2003 tidak dapat diberlakukan Asas Retroaktif karena hal tersebut bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) dan pasal 28 i ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Hal ini tentunya menimbulkan kontroversi para praktisi hukum di Indonesia karena keputusan MK tersebut hanya memperhatikan Hak Asasi para pelaku Terorisme saja tidak mempertimbangkan akibat dari terorisme itu sendiri termasuk para korban, keluarga korban, masyarakat pada umumnya bahkan akibat terorisme itu akan menyebabkan persepsi negatif bangsa-bangsa dunia terhadap indonesia bahwa indonesia merupakan sarang terorisme dan beranggapan bahwa situasi keamanan indonesia tidak aman.
Di lingkup internasional penertian terorisme masih terdapat perdebatan alot. Perdebatan tersebut berputar pada apakah terorisme dapat dimasukkan sebagai kejahatan terhadap kemanusian ( crimes againts humanity ) atau kejahatan luar biasa ( extra ordinary crimes ), tetapi bukan sebagai kejahatan kemanusian. Dan ternyata terdapat desakan yang sangat kuat untuk memasukkan kejahatan treaty based crimes related to terorism and drug trafficking sebagai kejahatan kemanusiaan sehingga banyak ahli hukum yang mendukung International Criminal Court ( ICC ) untuk memasukkan kejahatan-kejahatan tersebut dalam yurisdiksinya.
International Criminal Court ( ICC ) adalah lembaga prospektif yang seharusnya tidak hanya menerapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan yang ditentukan oleh Statuta Roma Tahun 1998 Dalam hal ini , asas legalitas tetap dipandang sebagai asas fundamental. Namun berkaitan dengan yurisdiksi ICC , asas ini dapat disimpangi bila negara yang bersangkutan telah membuat pernyataan bahwa negara tersebut dapat menerima pelaksanaan yurisdiksi oleh pengadilan yang berkaitan dengan kejahatan masa lalu. Bertitik tolak dari pembahasan mengenai yurisdiksi ICC diatas, maka sewajarnyalah bahwa kejahatan terorisme termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan karena korbannya massal dan menghancurkan kemanusiaan dan peradaban.

6. Sisi Negatif Pendekatan Legal Formal
Kebijakan yang terlalu bertumpu kepada pendekatan legal formal dan bersifat represif, perlu ditinjau ulang karena bukan saja tidak mampu mengatasi masalah terorisme tetapi justeru dapat meningkatkan tindakan kekerasan semacam itu di masa depan Hal itu terbukti makin banyaknya 2004. Pemerintah perlu memikirkan alternatif pendekatan dalam menyelesaikan masalah terorisme di tanah air diluar pendekatan legal formal / represif.






Ada beberapa hal efek negatif dapat menyebabkan cara penyelesaian berbasis legal formal/represif itu kurang mampu menyelesaikan masalah terorisme yaitu :
a. Logika dibelakang pendekatan melalui pendekatan melalui mekanisme hukum itu berlawanan dengan logika yang dianut para teroris itu sendiri. Sanksi pidana pada dasarnya untuk mencegah agar sesorang tidak melakukan tindakan tersebut dan atau menghukum mereka yang melakukan tindakan yang dilarang dengan harapan pelaku dan orang lain tidak melakukan hal yang sama kelak dengan cara menerapkan sanksi fisik bagi para pelanggar, mulai yang teringan sampai dengan yang terberat seperti hukuman mati. Tetapi, logika itu berlawanan dengan logika para pelaku teroris yang bertindak melampaui rasa takut untuk melakukannya bahkan mereka rela mati untuk mewujudkan tujuan mereka.
b. Cara memerangi terorisme yang bersifat legal formal dan represif seperti ini dapat menimbulkan efek balik yang berlawanan dengan tujuan semula untuk memerangi terorisme. Tindakan semacam itu tidak mustahil justeru dapat memicu perlawanan dan radikalisme baru yang lebih hebat , bukan hanya dari kelompok masyarakat yang dituding sebagai pelaku terorisme tetapi menimbulkan reaksi negatif dari kelompok-kelompok lainnya. Apalagi tiap penerapan cara penanganan semacam itu seringkali bukannya mengobati dan menyembuhkan luka dan rasa frustasi suatu kelompok dalam masyarakat tetapi cenderung berakibat pada kian mendiskreditkan dan memojokkan mereka . Kolompok masyarakat lain akan memberikan stigma negatif pada kelompok masyarakat tersebut sehingga kelompok yang menerima stigma tersebut akan berdampak melakukan perlawanan kepada pemerintah dan kelompok lainnya.
c. Penerapan UU yag represif seperti UU anti terorisme dan internal security act dapat membawa implikasi negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya kehidupan masyarakat demokrasi. Jika ISA diberlakukan wewenang aparat negara akan lebih besar sehingga terbuka peluang untuk disalahgunakan . Ada kemungkinan orang yang dicuriagai sebagai teroris dapat diperiksa dan ditangkap tanpa prosedur hukum yang sah dan benar. Tiap-tiap lawan politik yang berseberangan misalnya dapat dikenakan dengan pasal-pasal ini sehingga memunculkan state terorism yang tentunya akan menimbulkan masalah panjang yang tidak berkesudahan.

Keberhasilan membuat perangkat hukum yang baik belum tentu memberikan dampak positif dalam mewujudkan maksud dan tujuan hukum. Sebagus apappun produk hukum formal yang ada tidak akan ada artinya tanpa disertai penerapan yang baik. Ironisnya, Indonesia dipandang sebagai negara yang pandai membuat perangkat hukum namun masih lemah penerapannya. Hal ini jika dibiarkan akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.



7. Pendekatan Sosio-Kultural sebagai alternatif penyelesaian

Dalam jangka panjang memerangi terorisme tidaklah cukup dan tidak akan pernah berhasil hanya dengan menindak pelaku teror dan peledakan bom dengan kekerasan. Kita melihat bagaimananya Amerika Serikat dan sekutunya dalam menjalankan kampanye ”Perang Terhadap Terorisme”. Justeru kampanye tersebut telah menimbulkan masalah tersendiri yang telah memakan korban warga negara mereka itu sendiri dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menindak para pelaku terror Para pelaku teror tersebut akan terus meningkatkan perlawanannya seiring semakin hebatnya USA dan sekutunya untuk memerangi pelaku teroris. Fakta telah menunjukkan bahwa membunuh pelaku teror, mengisolasinya dan memenjarakan para pemimpin organisasi teroris tidak mampu menghentikan tindakan terorisme dalam waktu lama.
Sementara itu di Indonesia munculnya tindakan terorisme menandakan adanya yang salah dalam sistem sosial, politik dan ekonomi . Para pelaku teroris menjadi sedemikian radikal disebabkan mereka merasa termarginalisasi dan terasing dari kehidupan sosial, politik dan ekonomi masyarakat Keterasingan tersebut pada umumya bersifat struktural yang termanifestasi dalam kebijakan pemerintah yang kurang akomodatif atau merugikan dalam waktu panjang. Hal ini akan mengakibatkan perasaaan tidak puas dan benci pada pemerintah dan kelompok masyarakat tertentu seperti orang kaya, penguasa dan orang asing yang dianggap telah melangkahi kepentingan mereka. Namun upaya untuk mengatasi rasa keterasingan tersebut secara normal mengalami hambatan karena tidak ada ruang bagi mereka untuk berpartisipasi dan menyalurkan harapan serta kepentingan mereka sehingga timbullah aksi radikal seperti terorisme.

Amatlah penting untuk menerapkan cara-cara lain yang lebih persuasif dan akomodatif terhadap kepentingan terhadap kelompok yang berpotensi melakukan tindakan terorisme Misalnya dengan menerapkan kebijakan yang lebih sensitif terhadap kepentingan berbagai kelompok yang merasa termarginalisasi atau dirugikan dengan berbagai kebijakan yang telah diterapkan selama ini. Termasuk kemungkinan penerapan tindakan yang bersifat dan mengandung unsur konsesi dan rekonsiliasi antara pemerintah dan masyarakat serta unsur-unsur dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga memperkecil pilihan penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuannya.
Selain itu pula dalam rangka mengeliminir perekrutan pelaku terorisme pemerintah dapat bersinerji dengan para tokoh setiap agama yang ada di Indoensia untuk melepaskan label atau stigma dari suatu kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya yang dicurigai sebagai pelaku terorisme. Sehingga perlunya lebih merekatkan kerjasama di dalam kelompok masyarakat Indonesia dan menjalin komunikasi untuk menyamakan persamaan pandangan dari dalam seluruh kelompok masyarakat bahwa terorisme bukanlah nilai / ajaran suatu kelompok tertentu.

BAB III
P E N U T U P


8. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan penjelasan penulis diatas bahwa dapat terlihat bahwa Terorisme timbul dengan dilatar belakangi berbagai sebab dan motif. Naun patut kita sadari bahwa terorisme bukan merupakan ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama . Terorisme merupakan strategi , instrumen dan atau alat mencapai tujuan.
Penerapan UU anti terorisme di dalam No 15 Tahun 2003 sangat berpotensi mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi para tersangka terorisme dan tidak memberikan efektifitas untuk mengurangi orang untuk bertindak sebagai teroris. Wewenang yang terlalu luas bagi aparat untuk memberantas terorisme tanpa disertai tanggungjawab dalam pelaksanaannya akan mengakibatkan suatu terorisme baru yang dilakukan terhadap negara terhadap warga negaranya atau State Terorism. Hal inilah yang ditakutkan oleh para ahli hukum pidana. Untuk itu pemerintah perlu memikirkan pendekatan yang tidak legalis represif terhadap terorisme salah satunya antara lain memikirkan kemungkinan rekonsialisasi dan terbukanya komunikasi intensif antara pemerintah-masyarakat dan unsur-unsur di dalam masyarakat itu sendiri.
Patut disadari bahwa terorisme merupakan rangkaian tindakan yang kompleks, maka pada dasarnya pengaturan anti terorisme tidak akan memadai jika hanya dilakukandalam satu undang-undang. Selain itu sudah sepatutnya aparat penegak hukum mengefektifkan ketentuan hukum yang sudah ada dan terpancar dalam berbagai undang-undang, dengan cara mengintegrasikan kedalam kerangka hukum yang komprehensif. Revisi UU anti terorisme harus sesuai dengan kerangka hukum yang harus mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan pengawasan perbatasan, keamanan transportasi, bea cukai, keimigrasian, money loundring, basis rekruitmen dan pelatihan ( milisi atau pelatihan militer illegal ), keuangan, bahan peledak, bahan kimia dan persenjataan serta perlindungan terhadap masyarakat sipil. Serta mewajibkan setiap prosedur dan tindakan hukum dilakukan secara nondiskriminatif , melindungi dan menghormati HAM.

9. P e n u t u p
Demikian Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen Mata Kuliah Ilmu Politik, penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna maka penulis meminta koreksi dan kritik yang membangun dari para dosen dan pembaca demi lebih baiknya makalah ini dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
1.
HHTP://en. www.pemantauperadilan.com . Diakses tanggal 21 April 2008.
2.
“History and causes of terrorism “ hhtp://en.wikipedia.org/wiki/terrorism. Diakses tanggal 21 April 2008.
3.
Tb Ronny Rahman Nitibaskara
, “State Terorism”. Kompas Cyber Media , www.kompas.com
edisi Sabtu, 20 April 2002. Diakses tanggal 22 April 2008.
4.
HHTP://en.wikipedia.org/wiki/definitions_of_terorism. Diakses tanggal 22 April 2008.
5.
Kompas Cyber Media, “ Revisi UU Anti Terorisme Diakui untuk menambah Kewenangan Intelejen” , Sabtu, 30 Agustus 2003 .www.kompas.com, diakses tanggal 23April 2008.

0 komentar: